oleh Anthony de Mello SJ
- Lonceng-lonceng Kuil
- Berhala Manusia
- Rumusan
- Penjelajah
- Thomas Aquinas Berhenti Menulis
- Apa Katamu?
- Setan dan Temannya
- Tulang untuk Menguji Iman Kita
- Mengapa Orang-Orang yang Baik Mati?
- Sang Guru Tidak Tahu
- Pandangan Matanya
- Raksasa di Sungai
- Telur
- Berseru Supaya Tetap Selamat dan Yakin
- Jimat
- Nasruddin di Tiongkok
- Kucing Sang Guru
- Pakaian Liturgi
- Bunga Tapal-kuda
- Jangan Berubah
- Sahabatku
- Pemuda Arab yang Sederhana
- Kami Bertiga, Kamu Bertiga
- Doa Bisa Berbahaya
- Narada
- Kepastian pada Mata Uang
- Berdoa Mohon Hujan
- Serigala Tua
- Tuhan Menjadi Makanan
- Lima Orang Rahib
- Kenaikan Pangkat
- Diogenes
- Berdiri dan Maju untuk Memberi Kesaksian
- Kios Kebenaran
- Jalan Sempit
- Munafik
- Baiklah, Baiklah
- Boneka Garam
- Siapakah Aku?
- Pemuda yang Banyak Bicara
- Menanggalkan si ‘Aku’
- Buanglah Kehampaanmu!
- Guru Zen dan Seorang Kristen
- Rahib dan Wanita
- Serangan Jantung Rohani
- Telur Emas
- Kabar Gembira
- Joneyed dan Tukang Cukur
- Anak yang Sulung
- Agama Seorang Ibu Tua
- Cinta Itu Melupakan
- Bunga Teratai
- Kura-kura
- Bayazid Melanggar Aturan
- Orang yang Berwarna Loreng-loreng
- Musik Bagi Orang Tuli
- Kaya
- Nelayan yang Puas
- Tujuh Buli-buli Emas
- Mohon Hati yang Damai
- Pasar Malam Agama
- Diskriminasi
- Jesus Menonton Pertandingan Sepakbola
- Mengubah Dunia dengan Mengubah Diriku
- Buah Kelapa
- Suara Penyanyi Memenuhi Ruangan
- Terimakasih dan Ya
- Simon Petrus
- Wanita Samaria
- Ignasius dari Loyola
Sumber: Media Isnet
Burung Berkicau — Tugas Agama
(*tapi malah kayak tugas BI resensi*)
Desember 15, 2007 at 12:06 pm (Tugas Sekolah)
Pendahuluan
Buku “Burung Berkicau” adalah suatu karya masterpiece dari seorang rohaniwan Jesuit bernama Anthony de Mello, SJ. Mengapa masterpiece? Karena Anthony de Mello benar-benar menempatkan pembaca sebagai tokoh, bukan hanya pembaca. Pada bagian terdepan dari buku ini, Anthony de Mello sudah me-‘wanti-wanti’ pembaca untuk kiranya merefleksikan apa yang ada di dalam buku ini.
Pembaca diminta (atau dengan bahasa yang lebih mengena: dituntut) untuk berada di luar kotak-kotak yang ada (yang di buku ini ditunjukkan dengan sebuah refleksi singkat yang dilampirkan pengarang). Namun, di halaman 11, pembaca tetap diarahkan dengan tiga cara membaca buku ini.
Sekedar latar belakang singkat, buku ini hadir di jajaran buku di rumah saya, berkat ayah saya. Ayah saya berasal dari keluarga Protestan taat — tetapi berpindah ‘aliran’ ke Gereja Katolik karena pernikahan beliau dengan ibu saya. Merasa bahwa perpindahan aliran tersebut lebih dikarenakan suatu ‘keterpaksaan’, ayah saya memutuskan untuk mendalami Gereja Katolik dengan membeli cukup banyak buku mengenai keagamaan — buku-buku yang beliau temukan di toko buku di bagian ‘Kristen‘, dan pengarangnya bergelarkan gelar-gelar imam, atau malah terkadang terbatas pada buku yang judulnya mengandung kata ‘Katolik’, ‘Maria’, ‘Novena’.
Salah satu dari buku-buku tersebut adalah Burung Berkicau ini. Sudah menjadi suatu ‘kebiasaan’ yang kurang bagus dari ayah saya, buku yang beliau beli pada akhirnya teronggok di rak buku. Dan saya pun tidak terlalu tertarik dengan buku tersebut.
Bulan November 2007, Frater Nico, guru Pendidikan Agama Katolik saya di sekolah, meminta para siswa untuk membawa ‘buku rohani’ ke sekolah. Pada hari itu, Frater Nico mencontohkan buku ‘Chicken Soup for the Soul’ sebagai salah satu jenis ‘buku rohani’. Tersugesti oleh perkataan Frater Nico tersebut — apalagi saya sedikit malas untuk mencari ‘lebih’, maka saya pun membawa buku ‘Chicken Soup for the Soul’. Cukup banyak, sekitar empat buku, yang pada akhirnya jatuh ke tangan teman-teman saya yang salah membawa ‘buku rohani’.
Setelah saya mengingat lebih dalam, saya pun teringat dengan salah satu ‘buku koleksi ayah’ yang berkoverkan gambar tiga ekor burung kuning yang hinggap pada ranting pohon. Sepulangnya di sekolah, saya langsung mencari rak. Untung beribu untung, saya menemukan buku itu. ‘Burung Berkicau’, karya Anthony de Mello. Esok paginya, saya membawa buku itu kepada Frater Nico. Saya yakin dengan sangat bahwa buku ini jauh lebih baik daripada ‘Chicken Soup’. Dan sekarang, saya menjadi jauh-jauh-jauh lebih yakin lagi. Dan inilah refleksi yang saya dapatkan dari ‘Burung Berkicau’.
Refleksi
Pada cerita pertama, pembaca disuguhi dengan sebuah cerita sederhana yang dengan jitu menembak hati para pembaca. Cerita tersebut adalah mengenai seorang murid yang mengeluh pada Gurunya, bertanya mengapa Sang Guru banyak bercerita, tetapi tidak pernah menerangkan arti kepada murid tersebut. Sang Guru menjawab, ‘Bagaimana pendapatmu, Nak, andaikata seseorang menawarkan buah kepadamu, namun mengunyahkannya dahulu bagimu?’
Membaca cerita pertama ini, hati saya langsung tersentak. Saya seolah mendapat jawaban atas pertanyaan terbesar saya mengenai Yesus. Sebelumnya, saya sedikit meragukan kebijakan Yesus dalam menyampaikan nilai-nilai Surgawi dalam bentuk perumpamaan, yang — jika boleh jujur — terlalu ‘tinggi’ bahasanya dan menimbulkan terlalu banyak interpretasi yang malah berujung pada perdebatan antar orang Kristen.
Saya pun berefleksi. Betapa benar pernyataan ini. Kita tidak dapat memaksakan suatu pemikiran kepada orang lain. Apalagi jika pemikiran yang dimaksud berkenaan dengan Tuhan. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang unik, berbeda satu sama lain, termasuk pemikiran manusia tersebut. ‘Puji Tuhan!’, pekik saya di dalam hati. Bahkan di cerita pertama ini pun saya sudah mendapat pencerahan! Saya pun bergegas menuju ke cerita-cerita selanjutnya.
Pada cerita kedua, saya tidak terlalu memahami apa yang diintikan pada cerita itu. Maka saya pun beralih ke cerita ketiga. ‘Kicauan Burung’, judulnya. Tentu saja cerita ini sedikit banyak berkaitan dengan judul cerita ini sendiri, batin saya. Namun, alih-alih menemukan sebuah cerita yang ‘muluk-muluk’ dan terlalu dalam, cerita ini ternyata sama sederhananya dengan cerita pertama (‘Kunyahkanlah Buahmu Sendiri’).
Diceritakan mengenai para murid yang bertanya-tanya mengenai Tuhan. Sang Guru (yang pada sebagian besar cerita menjadi tokoh sentral) menerangkan, ‘Tuhan adalah Yang-Tak-Dikenal, bahkan Yang-Tidak-dapat-dikenal. Setiap pernyataan tentang Dia, seperti pula setiap jawaban terhadap pertanyaanmu, hanyalah mengacaukan Kebenaran’.
Sementara para murid bertanya, mengapa Sang Guru masih berbicara mengenai Tuhan, Sang Guru menjawab ‘Mengapa burung berkicau?’. Cerita itu sendiri, bagi saya, kurang begitu mengena. Barulah setelah diberikan refleksi singkat, saya memahami maksud dari cerita itu.
Dijelaskan bahwa kata-kata Sang Guru tidaklah untuk dipahami, tetapi untuk didengarkan, seperti orang mendengarkan desir angin di pohon, gemercik air sungai, dan kicauan burung. Semua hal ini akan membangkitkan sesuatu di dalam hati yang melampaui segala pemahaman.
Saya kembali bersorak. Satu lagi kisah inspiratif dari Anthony de Mello! Saya benar-benar mendapat sebuah pembaruan pemahaman mengenai rohani. Yang menjadi inti dari ajaran agama bukanlah memahami ajaran tersebut, melainkan sesuatu hal yang tidak dapat didefinisikan yang bernilai jauh di atas pemahaman ajaran tersebut. Walaupun terkesan sofisme, semangat saya dalam memahami ‘apa yang ada di Atas sana’ menjadi terpompa.
Sejenak, saya beralih ke daftar isi. Setelah melihat judul cerita-cerita yang ada, saya tertarik dengan judul ‘Engkau Mendengar Burung Berkicau?’. Tentunya, cerita ini adalah cerita ‘sekuel’ dari ‘Kicauan Burung’. Namun, bobot cerita ini lebih berat. Pertama kali membaca cerita ini, saya sedikit kebingungan. Tetapi saya tidak menyerah. Seperti petunjuk umum cara membaca buku ini (halaman 11), saya memutuskan untuk membaca ulang cerita ini. Barulah saya mengetahui makna yang terkandung dari cerita ini.
Dengan menggunakan analogi Hindu, cerita ini menekankan kita untuk ‘merasuk’ pada makhluk ciptaan Tuhan (‘tarian’) untuk dapat bertemu Tuhan (‘penari’) itu sendiri. Hanya terbatas pada mendengar kicauan burung atau melihat sebatang pohon tidaklah membuka kita terhadap Tuhan. Saya pun mengetahui ‘rahasia terdalam Zen’, yang sejalan dengan inti cerita, yaitu menemui Tuhan melalui ciptaan-Nya. Dan saya ingin mencobanya!
Saya pun kembali melompat. Saya ‘kepincut’ dengan sebuah judul yang unik dan sangat sederhana: ‘Nasruddin Sudah Mati’. Bahkan menjadi judul berita yang disiarkan di radio pun tidak layak! Namun, setelah membaca cerita itu cermat-cermat, saya kembali dikejutkan Anthony de Mello. Cerita ini mengkritik budaya peradaban manusia.
Diceritakan bahwa Nasruddin bertanya: ‘Siapakah yang dapat menjelaskan makna kehidupan dan kematian?’. Istrinya, dengan setengah mengejek, mengatakan bahwa orang yang bodoh pun tahu bahwa jika ujung-ujung jari seseorang sudah kaku dan dingin, ia sudah mati. Nasruddin terkesan. Suatu ketika, Nasruddin berjalan-jalan di tengah udara yang dingin. Lalu ia merasakan jari-jari tangan dan kakinya mati rasa dan kaku karena kedinginan. Maka ia pun berpikir bahwa ia telah mati.
Nasruddin yang telah ‘mati’, heran karena walaupun sudah ‘mati’, ia masih dapat berjalan dan berbicara. Setelah melakukan hal ‘konyol’, Anthony de Mello membawa pembaca ke satu kesimpulan mutlak: Jika kebenaran terbentur pada kepercayaan yang kaku, niscaya kebenaran itu akan kalah. Hati saya pun tercerahkan, apakah selama ini saya sudah terbuka pada orang lain? Apakah apa yang saya yakini selama ini terlalu kaku? Saya akan mencoba lebih ‘lunak lagi’ terhadap kebenaran — termasuk (jika dituntut,) perubahan.
Setelah merefleksikan hal yang begitu dalamnya (tetapi melalui cerita yang begitu sederhananya), saya pergi ke bagian lain dari buku ini. Ya, secara umum cerita-cerita di buku ‘Burung Berkicau’ dapat dibagi menjadi segmen-segmen. Salah satunya adalah segmen mengenai perbedaan agama. Di cerita ‘Kebencian Keagamaan’, saya (untuk kelima kalinya) dicerahkan. Lagi, lagi, dan lagi!
Cerita dimulai dengan penggambaran sebuah kota yang penuh dengan gereja. Seorang wisatawan yang mengunjunginya berkata kepada tour guide, betapa terkesan ia melihat umat di kota itu sangat mencintai Tuhan.
Sang pemandu menjawab dengan sinis, ‘Entahlah, mungkin mereka mencintai Tuhan, tetapi yang jelas mereka saling membenci setengah mati’. Dan cerita ditutup dengan sebuah ‘anak cerita’ yang sama tajamnya.
Seorang gadis kecil ditanya: ‘Orang kafir itu siapa?’, dan sang gadis menjawab dengan polos: ‘Orang kafir adalah orang yang tidak bertengkar tentang masalah agama’.
Saya jadi teringat akan semua situs dan chat room bernafaskan keagamaan yang pernah saya kunjungi (di internet begitu banyak situs seperti ini). Saling hujat satu sama lain. Saling tuduh satu sama lain. Saling cerca satu sama lain. Dan saya tidak ingin munafik, pernah juga saya menghina agama lain, walaupun saat itu saya masih berumur 11 tahun dan belum dewasa dalam pemikiran.
Jika memang pernyataan yang tertulis di ‘Burung Berkicau’ dan telah saya bold itu benar, maka saya (yang sekarang) akan memilih menjadi orang kafir. Buat apa kita menyerukan ‘KASIHILAH MUSUHMU’ jika kita malah menciptakan musuh sendiri dan membencinya?
Cerita pendek ‘Kesalahan yang Membahagiakan’ tampak menarik untuk disimak pula. Anthony de Mello mengisahkan Baal Shem, seorang mistik Yahudi yang mengatakan bahwa Tuhan memerlukan dosa kita.
Sejenak, saya menjadi teringat mengenai Injil Yudas. Di Injil palsu itu, kepengkhianatan Yudas Iskariot dibenarkan dengan alasan, jika Yudas tidak mengkhianati Yesus, maka Yesus tidak akan menyelamatkan manusia, maka Yudas lah penyelamat manusia yang sesungguhnya.
Jika dikembangkan dengan logika yang sama, memang betul hal itu. Tetapi, tentu saja logika ‘Kesalahan yang Membahagiakan’ tidak dapat diterapkan untuk hal itu. Saya sendiri lebih mencontohkan jatuhnya Adam dan Hawa ke dalam dosa sebagai ‘Kesalahan yang Membahagiakan’. Dari suatu dosa fatal yang diwariskan dari orang tua ke anak, kita justru mendapat rahmat penyelamatan Yesus.
Jadi, apakah kita boleh berdosa? Tentu saja boleh, tetapi tentu dengan disertai iman akan keselamatan Yesus. Bukankah Yesus pernah berkata, Ia datang untuk menyembuhkan yang sakit?
Secara keseluruhan, memang tepat untuk menggambarkan ‘Burung Berkicau’ sebagai masterpiece yang tidak hanya ‘layak baca’, melainkan ‘wajib (di)baca’. Hanya saja, tingkat kesulitan (‘difficulties’) cerita-cerita di buku ini sangat beragam. Ada beberapa cerita yang dapat langsung mengena, ada juga cerita yang kita harus bersusah-susah dahulu untuk dapat mencernanya.
Namun, semuanya kembali ke cerita pertama. ‘Kunyahkanlah Buahmu Sendiri’. Bahkan refleksi saya inipun bukan baku dan buku ‘Burung Berkicau’ tetap saja dapat ditafsirkan berbeda-beda. Semuanya terserah Anda yang membaca. Akhir kata, tidak ada yang dapat saya katakan kecuali: Kunyalah buahmu sendiri! ■
Sumber: Official Site of Ryan
Buku Burung Berkicau, berisi teologis dan filosofis yang cukup tinggi, sayangnya (mungkin) sebagian besar orang tidak berbicara dan berpikir secara teologis dan filosofis, mereka lebih banyak nerpikir dan bersikap atas dasar logika dan dan hal-hal yang bersifat praktis
(barangkali) hal ini disebabkan konten dari kurikululum sistem pendidikan nasional kita memang berisi hal-hal yang bersifat ke-duniawi-an
Mestinya sejak TK hingga universitas pemahaman atas pengetahuan yang berifat falsafah harus lebih ditanamkan, agar setiap pribadi dapat menemukan jatidiri lebih awal.
Dengan demikian diharapkan, masyarakat Indonesia pada generasi kedepan menjadi lebih “mature” dan “smart”
@Urbanus M>>>>sy setuju dan sepaham apa yg anda ungkapkan agar masyarakat tdk mengunakan pola pikir yg keliru.
dear penilis
saya ingin membelibuku burung berkicau, di mana saya dapat membelinya ??
Di toko-toko buku ada kok. Coba cari di toko buku Gramedia atau Gunung Agung.
coba anda baca buku2nya KRISHNAMURTI…
lumayan juga lho…
terima kasih … saya juga dapat byk dr “doa sang katak”. salam …
Thanks yah sudah upload buku ini ke internet.
I love this book very much.
Salam Kenal, Mas.
Saya juga pengangum Anthony De Mello,
dan juga penganggum dari Burung Berkicau.
Baru satu bulan ini saya belajar menulis blog.
Dan ada tulisan saya yang terinspirasi dari
Burung Berkicau…
Sekali lagi salam kenal.
Nice blog.
http://pemanisbuatan.wordpress.com/
Saya kemarin baru beli bukunya. Bener-bener ga nyangka bisa nemu buku ini di toko buku bekas dekat kampus!!! 😀
buku yg bagus… sudah buku yg ke – 4 yg saya beli, sebelum2nya selalu di pinjem teman dan tidak pernah kembali 🙂
diskusi dg ku 087832666723
great, great book……makasih atas tampilanya….
buku yang sangat mambantu merefleksikan diri….
sekali lagi tx vr much
Makasih banyak. Saya juga penggemar Anthony de mello, tp sejak pindah ke USA, saya tdk tahu mendapatkan buku2 Anthony di sini. Terimakasih utk up load-nya.
WaOOwww,
bgus bgetttt
‘kuNyahlh buAhmu sNdr’
nice 😉
Buku ini luar biasa bila kita bisa menggali dan mereapi maknanya bagi diri kita sendiri, namun bila jatuh di tangan orang yang berpikiran sempit buku ini bisa berbahaya.
seperti cerita Jesus menonton sepakbola, pasar malam agama,
kunyahlah buahmu sendiri 😀
Walau bagaimanapun orang berpikiran sempit akan menganggap semua hal sesuai dengan kesempitannya sih. Mudah2an suatu hari dia bisa menjadi bayi berhenti menangis 🙂 Cheers.
Buku yang sangat bagus…saya rela membeli beberapa kali karena setelah saya pinjamkan tidak kembali…..sangat bagus juga untuk hadiah seorang anak yg mulai remaja.., Pasangan yg hendak memasuki bahtera rumah Tangga…atau untuk siapa saja yang anda perduli…dengan memberi pesan…; di baca yaaaa…
@Anthony De Mello Sj>>>>>karya2 nya sangat menyentuh rohani>>>>Thanks!!
pa, saya minta tolong utk mendapatkan buku itu bagaimana caranya. terima kasi
bagaimana caranya saya bisa mempunyai buku burung berkicau tsb
Dear tomas,
Coba kontak toko buku obor. Atau kadang di pameran buku di gereja juga ada.
Atau ke penerbitnya cipta loka caraca. Jl moh yamin 37. Menteng.
021 31924856
i love you antonio de mello
Yaaaay akhirnya ada juga yg bikin Anthony de Mello(burung berkicau.)blog.Semoga bermanfaat.
Saya punya buku ini dari 1993 masih saya simpan. Ada lagi yang menarik adegan akhir film Matrix 1999 di mana Keanu bisa melihat dunia hanyalah bit digital. Semua hanya sementara, hanya kasih-Nya yang abadi
Sekedar informasi saja, Rm. Anthony de Mello di “banned” oleh Vatican dalam surat dari Kongregasi ajaran iman tanggal 24 Juni 1998.
“Banyak orang menyukai tulisan-tulisan Fr. Anthony de Mello, yang memang ditulis dengan gaya yang menarik dan enak dibaca. Jika kita cermati, memang fokus utama Fr. de Mello adalah untuk membantu seseorang mendapat pencerahan dan menemukan Tuhan. Tetapi jika kita terus membaca karya-karyanya, lama kelamaan secara implisit kita dapat menangkap, seolah-olah pencerahan itu dapat diperoleh sendiri secara pribadi dalam keheningan, dan bukan melalui Kristus. Dan sosok Tuhan yang dimaksud di sinipun nampaknya adalah kekosongan total…Kita menerima dengan rendah hati pandangan Gereja, yang pasti telah didahului dengan segala penelitian akan semua karya-karya Fr. de Mello. Sedangkan yang kita baca mungkin hanya sebagian saja. Sebab memang di sebagian karya-karya Fr. de Mello ini ada yang membingungkan seolah mengatakan bahwa agama tidak penting, atau bahkan Kristus tidak penting. Dan inilah yang dianggap menyimpang oleh pihak otoritas Gereja.” Katolisatas.org
[…] Seorang blogger mengindeks 122 cerita super pendek namun sarat makna Mello di blognya. Anda bisa menemukan cerita Melo yang lain melalui blognya. […]
Luar biasa..
[…] https://djuni.wordpress.com/2008/01/20/burung-berkicau-oleh-anthony-de-mello-sj/ […]