Tanggal 24 Desember 2007 – 1 Januari 2008 saya ikut sebuah retret meditasi di Vihara Mendut yang terletak di sebelah tepat Candi Mendut, Jawa Tengah. Retret meditasi ini bernama Meditasi Mengenal Diri (MMD) dengan pembimbing oleh Dr. Hudoyo Hupudio MPH. Peserta yg ikut ada 35 orang (18 laki-laki dan 17 perempuan) yang berasal dari latar belakang agama Budha, Islam, Katholik, Protestan.
Apa itu Meditasi Mengenal Diri (MMD)?
Metode yang digunakan adalah mengambil metode dari Budha (Vipassana) yang kemudian diadaptasi utk peserta sekuler. Dalam MMD tidak menggunakan cara yg bermacam-macam, seperti konsentrasi pernafasan, cahaya, mantra (kata yang diulang-ulang), visualisasi, imajinasi, afirmasi dll. MMD hanya mengamati diri sendiri, dan diri itu ada dua macam baik yang berwujud (badan) yang tidak berwujud (batin). Ini hanya mengamati dengan pasif, atau sebagai “penonton yang tidak terlibat”. Fenomena badan antara lain rasa sakit, pegal, capek, kesemutan, dll. Sedangkan fenomena batin antara lain capek, haus, lapar, malas, bosan, ngantuk, marah, benci, sedih, gembira, dll. Semua fenomena itu diamati tanpa ada keterlibatan, dan pada akhirnya semua fenomena itu akan lenyap/musnah (fana). Ini masuk ke dalam kondisi HENING. Pengamat dan yang diamati melebur jadi satu. Waktu berhenti.
Pada saat kondisi HENING itu ada bermacam-macam kejadian, yang sangat tergantung pada individu masing-masing. Ada yang mengalami melihat BOLA CAHAYA, penuh energi yg meluap-luap, mahkluk halus, euphoria, ketenangan, suara-suara dll. Macam-macam kejadian ini adalah JEBAKAN, bila terlena pada kondisi itu maka juga tidak akan beranjak kemana-mana. Akan tetapi bila diamati dengan pasif dan teliti, maka kejadian-kejadian tersebut juga akan musnah. Lalu apa yg terjadi selanjutnya? Saya tidak tahu karena belum pernah berjalan sejauh itu.
Apa manfaat meditasi bagi saya?
Saya ikut retret MMD sebanyak tiga kali, yaitu tahun 2000 (tiga hari di Ciloto, Bogor), 2004 (tujuh hari di pertapaan Rowoseneng, Temanggung, Jawa Tengah) dan 2007 (tujuh hari di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah). Sebelum melakukan meditasi saya adalah seorang aktivis lingkungan yang berkobar-kobar ingin merubah lingkungan dan masyarakat ke arah yang lebih baik (menurut saya dan lembaga yang saya bikin di Jember). Tidak heran bila terjadi konflik, baik dengan diri sendiri, staf lembaga, orang lain, lembaga lain; sakit mental (gampang marah, stress, selalu merasa kurang, merasa “mampu” yang berlebihan, dll) dan fisik (sakit kepala, sakit punggung, maag, tipus) adalah normal saat itu.
Akan tetapi setelah saya menjalankan meditasi segala idealisme saya rontok semua. Akumulasi dari pengalaman dan wawasan sebagai hasil meditasi antara lain sebagai berikut:
- Saya tidak lagi penuh dengan keinginan dan pengharapan. Ini membuat hidup jadi lebih terasa sederhana dan mudah utk dijalani.
- Saya kembali melakukan sholat, setelah selama sekitar 25 tahun hanya menjadi penganut Islam KTP saja dari 40 tahun umur saya sekarang ini. Sekarang tidak akan muncul dari ucapan saya bila ada kawan yg sedang berangkat utk menjalankan ibadah sholat atau puasa, “Saya titip ya”.
- Saya tidak lagi makan daging – ikan – ayam atau melakukan semi vegetarian.
- Saya juga tidak lagi minum kopi. Dari dulu saya tidak merokok, minum minuman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang.
- Membatasi sekali kegiatan HUS (hubungan suami istri), kalau bisa sih berhenti total dari kegiatan itu.
- Dalam kehidupan keseharian terasa sekali adanya kesadaran yg semakin meningkat. Kesadaran akan memunculkan eling (awaraness).
- Menurut pembimbing retret meditasi di Vihara Mendut saat berkonsultasi karena ada pengalaman tertentu yg tidak saya pahami, dikatakan bahwa saya telah menemukan Guru Sejati saya yang muncul dari bagian paling dalam dari bawah sadar saya. Guru Sejati itulah yang memberi petunjuk kepada saya.
Pengalaman dan wawasan yg lebih ditil dari ikut MMD tujuh hari di Vihara Mendut akan saya tulisan di hari kemudian setelah ini.
Komentar di Milis Mapagama:
From: ananta yudiarso
Date: Wed, 16 Jan 2008 14:45:56 +0700
Dear Kang Lethek,
Kebetulan pernah ikut vipassana dan pernah diskusi dengan bante Pannavaro di vihara mendut yang ternyata pernah kuliah di psikologi UGM. Jadi kalo ketemu beliau salam saya, semoga masih ingat. Kebetulan juga sekarang lagi menekuni emosi dan mungkin bisa diskusi pengalaman mengikuti vipassana.
1. Pada dasarnya pernafasan sangat terkait dengan emosi. Dalam sistem pernafasan reflek (pusat pernafasan ada di medula) dan kesadaran (korteks) saling mempengaruhi. Sejak lahir konon (ini teori yang masih kontroversial) kita diberi sensor CO2 baik di peripheral (carotid body) ataupun di central (medular), jadi mengatur nafas sesungguhnya juga mengatur kadar CO2. Untuk kadar CO2 setelah kita menghembuskan nafas (end tidal) biasanya 35-45 mmHg. Bila kurang dari itu bisa hypocapnia atau jika lebih bisa hypercapnia, dan biasanya keduanya bisa memicu kecemasan hingga apa yang disebut dengan panic attack. Jika nafas dibuat cepat maka bisa hyperventilate dan menghasilkan hypocapnia atau sebaliknya jika nafas dilambankan akan bisa mengarah ke hypercapnia. Meskipun juga tengah dalam perdebatan, hypercapnia lebih bisa memicu panic attack. Salah satu ciri kognitif ketika panic attack adalah : ketakutan akan menjadi gila atau derealisasi (seperti merasa diri keluar dari realitas atau tubuh…) lihat di DSM IV ada 13 gejala.
2. MMD, jika ini tujuannya untuk memahami ritme tubuh pada dasarnya akan seperti CBT (cognitive behavioral therapy) seperti yang dilakukan pada “breathing retraining”. Ekperimen medis terakhir yang saya baca dengan training ini selama 2 bulan dengan dosis latihan 2 kali 17 menit sehari mengatur pernafasan ( breathing rate 11, 9, 6 per menit dan menjaga end tidal Co2 pada kisaran 35 mmHg) bisa menurunkan kecemasan dan gejala panic. Jadi seperti conditioning dengan menggunakan model interoceptive conditioning.
3. Ini pemahaman yang kontroversial, kondisi HENING bisa jadi kondisi antara deep stage (theta wave) dan alert (alpha wave) dimana subjek menemukan ritme antara “tidur dan tidak”. Mungkin pengalaman altered state dan bisa jadi derealisasi-like ini yang diintepretasikan sebagai pengalaman “spiritual”. (antara mimpi dan tidak)
4. Ini pikiran kritis dan nakal. Jika mekanisme emosi memang inborn dan tentu ini pasti ada gunanya secara alami. Pertanyaannya adalah : mengapa harus “memanipulasi” emosi (baik negatif atau positif) ke arah netral. Ini yang saya pahami dari Nietszche : Kebenaran adalah kesalahan yang manusia tidak bisa hidup tanpanya.
Dalam kebenaran ada kesalahan, dalam kesenangan ada kesedihan. Jadi emosi negatif dan emosi postif sama berharganya. Berkata “ya” pada dunia adalah mengakui bahwa hidup itu memang susah (kadang), kita bisa sangat terpukul atau depresi atau kita juga bisa sangat bahagia atau euphoria… atau bagaimana kita bisa memahami emosi positif jika kita mengindar atauy memanipulasi emosi negatif Sayangnya budaya kita terlalu berpihak pada “kebahagiaan – positif “
Komentar di Milis Mapagama:
From: Djuni Pristiyanto
Date: Fri, 18 Jan 2008 09:13:46 +0700
Bebe,
Bagus sekali uraiannmu itu. Tapi sebagian besar saya tidak ngerti. Kita ini diskusi mengenai meditasi, tapi kamu memandangnya dari sudut psikologi dan saya memandangnya dari sudut meditasi vipassana. Jelas ini tidak akan nyambung sama sekali.
Saya jadi tertarik dg meditasi vipassana yg kamu ikuti di vihara mendut itu. Berapa hari dan siapa pembimbingnya? Bisakah dijelaskan mengenai meditasi vipassana yg kamu jalankan itu sebelum kita diskusi lebih lanjut.
salam,
djuni
Komentar di Milis Mapagama:
From: ananta yudiarso
Date: Fri, 18 Jan 2008 12:57:14 +0700
Dear Lethek,
Tiga hari dan bergantian aku tidak ingat siapa saja karena banyak peserta dan pemberi materi. Yang jelas seperti yang kamu lakukan, tidak makan daging dan belajar teknik pernafasan tidak dikasih tau label MMD. Yang aku uraikan kemaren lebih ke fisiologis pernafasan terkait dengan emosi.
Bukan masalah nyambung atau nggak tapi masalah bersikap terhadap dua emosi (negatif dan positif). sepemahamanku yoga, meditasi yang berbagai macam lebih berusaha “tidak mengakui” bahwasanya kita bisa depresif dan euphoria dan berusaha untuk mengontrol dengan self-regulationnya. Tujuannya adalah “keheningan”. Keheningan konon adalah kebahagian yang utuh.
Seperti berada di titik tengah diantara dua kutub (emosi negatif dan positif) yang berlawanan. Budaya yang muncul adalah “pasrah” takluk atas kehendakNya. Ini yang disebut Nietszce sebagai mentalitas budak (slave mentality”. (jangan tersinggung ya….)
Ini pikiran nakal dan semoga bisa dikritisi juga. Dalam hidup dan berevolusi sangat diperlukan untuk merasakan keduanya (senang dan sedih). Bedanya, tujuannya bukan lagi keheningan, self regulation atau self control tapi lebih ke “proses merasakan keduanya”. Istilahnya Nietszche adalah “mengakui dunia dan berkata ‘ya’ pada dunia”. Interpretasinya adalah berani mengalami emosi negatif dan positif sekaligus. Keduanya sama berharganya. Jadi bukan mencari keheningan tapi justru ” berani” menghadapi dunia, berani menghadapi kedua emosi.
Nah kalo ini tidak berada di tengah tapi berproses di kedua kutub.
Groetjes,
bebe
Komentar di Milis Mapagama:
From: Djuni Pristiyanto
Date: Fri, 18 Jan 2008 14:06:02 +0700
At 12:57 18/01/2008, you wrote:
>Bukan masalah nyambung atau nggak tapi masalah bersikap terhadap dua emosi (negatif dan positif). sepemahamanku yoga, meditasi yang berbagai macam lebih berusaha “tidak mengakui” bahwasanya kita bisa depresif dan euphoria dan berusaha untuk mengontrol dengan self-regulationnya. Tujuannya adalah “keheningan”. Keheningan konon adalah kebahagian yang utuh.
—————————
Bebe, ada beda besar antara yg kamu lakukan dengan sy lakukan. Menurutku, yg kamu lakukan itu melakukan ANALISIS dengan pikiran mengenai fenomena-fenomena yg dialami. Sedangkan yg saya lakukan adalah MENGAMATI dengan pasif fenomena-fenomena yg dialami baik badan maupun pikiran (batin). Dalam pengamatan pasif itu tidak ada penilaian, apakah benar atau pun salah. Misalkan isi pikiran, bila diamati dengan tekun dan tanpa melibatkan emosi, maka pikiran-pikiran itu akan lenyap; begitu pula fenomena yg terjadi pada badan, mis rasa sakit atau gatal bila diamati dengan tekun maka fenomena itu akan lenyap. Ini bukan berarti badan kita akan hilang, kenyataannya badan kita masih tetap duduk melakukan meditasi. Itu semua menunjukkan bahwa hidup di dunia ini adalah fana, tidak kekal, dan suatu saat pun kita pasti akan mati dan lenyap dari muka bumi.
Keheningan bukan tujuan, tapi merupakan satu tahapan. Mungkin tujuannya adalah “pembebasan” yg dalam agama Budha disebut “nibbana”, Islam menyebutnya “makrifat”, Jawa menyebutnya “manunggaling kawulo gusti”, Katholik menyebutnya “penyatuan manusia dengan Tuhan” dst. Ada banyak macam kondisi keheningan. Pernahkah kamu mengalami kondisi hening?
>Seperti berada di titik tengah diantara dua kutub (emosi negatif dan positif) yang berlawanan. Budaya yang muncul adalah “pasrah” takluk atas kehendakNya. Ini yang disebut Nietszce sebagai mentalitas budak (slave mentality”. (jangan tersinggung ya….)
—————————
Saya tidak tersinggung kok. Buat apa tersinggung, ngabisin energi percuma aja he…..he……..he……..
Bahkan Karl Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat. Apakah salah bila seseorang mempunyai sikap “pasrah” takluk atas kehendakNya.? Dalam banyak hal dalam hidup kita ini sikap “pasrah” sangat diperlukan agar hidup ini tetap sehat dan seimbang.
>Ini pikiran nakal dan semoga bisa dikritisi juga. Dalam hidup dan berevolusi sangat diperlukan untuk merasakan keduanya (senang dan sedih). Bedanya, tujuannya bukan lagi keheningan, self regulation atau self control tapi lebih ke “proses merasakan keduanya”. Istilahnya Nietszche adalah “mengakui dunia dan berkata ‘ya’ pada dunia”. Interpretasinya adalah berani mengalami emosi negatif dan positif sekaligus. Keduanya sama berharganya. Jadi bukan mencari keheningan tapi justru ” berani” menghadapi dunia, berani menghadapi kedua emosi.
—————————
Dalam meditasi vipassana, emosi-emosi itu (baik yang positif maupun yang negatif) malah diamati dengan tekun tanpa terlibat. Caranya? Silahkan klik artikel di blog saya ini: https://djuni.wordpress.com/2008/01/04/seluruh-diri-menjadi-sangat-hening/ Dan bahkan pada akhirnya emosi-emosi itu pun akan lenyap. Lalu kalau emosi-emosi kita lenyap apakah kita masih jadi manusia? Walaupun emosi-emosi lenyap kita masih tetap sebagai manusia yg normal. Kita masih tetap merasa sakit, lapar, haus, marah, benci, senang, gembira, nafsu berahi; namun emosi-emosi itu semua akan segera lenyap bila disadari. Orang itu menjadi ELING (sadar, awaraness).
Bebe, mungkin diskusi ini sangat membosankan bagi kawan2 yang lain. Bila kamu masih tertarik utk melanjutkan diskusi lebih baik via japri aja dan diskusi vis jalum (milis) kita stop sampai di sini aja. Trims.
salam,
djuni
Komentar di Milis Mapagama:
From: didakus novi
Date: Fri, 18 Jan 2008 09:01:02 +0000 (GMT)
Dear pakdhe bebbe & djuni,
wah diskusi ttg meditasi yoga dll itu menarik sekali, mohon jangan diganti lewat media lain.
Hal terkait dg pencerahan sll aku baca dan amati (tp gak biasa nulis, sekalipun di Forchong jaman kuliah ).
Thanks
Dida djobolorangan
Komentar di Milis The Profec:
From: “Lies Sudianti”
Date: Fri Jan 18, 2008 10:29 am ((PST))
Dear Djuni,
Terima kasih lho untuk artikelnya, saya pikir walau saya sendiri seorang Muslimah saya sangat akrab dengan meditasi yang memang saya pelajari selain untuk self healing juga untuk melatih pengendalian diri.
Saya dan kelompok meditasi saya juga sering meditasi bareng khususnya di bulan purnama, kapan kapan kita mungkin bisa melakukannya bersama juga ya.
Salam epos,
Lies Sudianti
Komentar di Milis The Profec:
From: “Sinan Amir”
Date: Fri Jan 18, 2008 3:31 pm ((PST))
Pengalaman yang bagus…
Tapi kok ada pembatasan-pembatasan…
Ada sebuah riwayaat ada seorang sahabat yang berkata kepada Nabi SAW, bahwa dia akan berpuasa terus, tidak tidur untuk ibadah terus dan tidak akan mempergauli istrinya, lalu apa jawaban Nabi SAW?
Jangan lakukan itu karena sesungguhnya tubuh kamu punya hak (untuk istirahat), mata kamu punya hak (untuk tidur), dan istri kamu punya hak (untuk dipergauli dengan baik).
Ini hanya sedikit pengetahuan yang saya ketahui, semua terserah kita masing-masing….
Maaf bukan menggurui…
Salam
08563560313
Komentar di Milis The Profec:
From: Djuni Pristiyanto
Date: Sat Jan 19, 2008 11:23 am
Mbak Lies,
Saya akan senang sekali bila dapat melakukan meditasi bersama-sama. Kapan ya waktu dan tempatnya meditasi purnama berikutnya? Rumah saya di Mampang, Jaksel; tapi kerjaan saya banyak di Jogja.
salam,
djuni
Komentar di Milis The Profec:
From: Djuni Pristiyanto
Date: Sat Jan 19, 2008 11:48 am
Kawan Sinan Amir,
Terima kasih atas masukannya yg bermanfaat. Saya baru belajar lagi soal Islam setelah bertahun-tahun absen.
Sebelum acara retret meditasi MMD tujuh hari di Vihara Mendut berakhir ada kata penutupan yg berkesan dari kepala Vihara Mendut kepada para peserta retret. Menurut beliau wajar bila setelah melakukan sesuatu kegiatan muncul ide-ide baru dan rencana tindak lanjut yg akan dikerjakan. Utk itu perlu ada “penyaring”, yaitu:
1. Mencermati keinginan. Apakah keinginan-keinginan itu berada pada jalur yg benar? Apakah keinginan itu dapat dilaksanakan? Apakah keinginan itu timbul dari kesadaran penuh atau ada motivasi-motivasi tersembunyi lainnya?
2. Tidak merugikan mahkluk hidup lainnya.
3. Bila sudah dimulai, lakukan dengan giat dan benar.
Tentu saja ide-ide dan RTL setelah retret meditasi itu telah saya “saring” dengan ketiga hal di atas. Utk bagian-bagian yg berhubungan dengan rumah tangga dan istri saya, maka sebelumnya saya bahas dulu dg sang istri. Utk menjalankan semi vegetarian, istriku setuju dan dapat menerimanya; tapi istriku dan anakku tetap seperti biasa – dalam artian tidak ikut melakukan semi vegetarian.
Akan tetapi, pada bagian HUS (hubungan suami istri), istriku ingin mempunyai satu anak lagi (saat ini kami baru punya satu anak yg berusia 5 tahun, laki-laki). Memberi nafkah batin kepada istri tetap dilakukan dalam kerangka utk regenerasi, dan bila saatnya tiba – istri mengandung – maka HUS itu sangat dikurangi dan kalau bisa dihentikan. Ada pemahaman bahwa hubungan suami istri itu bersifat dua arah dan seperlunya saja, HUS dilakukan bila dirasa perlu dan bukan lagi menjadi kebutuhan utama.
Kegiatan-kegiatan itu semua dilakukan dengan kesadaran sepenuhnya. Disiplin ini muncul dari dalam dan dari kesadaran sendiri, oleh karena itu ketika menjalankannya menjadi mudah dan sederhana. Tidak ada pemaksaan. Tidak ada konflik. Yang ada adalah keseimbangan atau harmoni. Dan ini semua akan memunculkan ELING (AWARANESS).
salam,
djuni
Komentar di Milis BeCeKa:
From: —sangwaktu
Date: Sat Jan 19, 2008 1:36 pm
ibarat kata, anda tinggal selangkah untuk menjadi biksu dan mengabdi di
suatu kuil.
but, kalau disadari lagi poin-poin anda tersebut, pada akhirnya adalah ulah si fikiran lagi yang selalu ingin exist 🙂
selamat!
—sangwaktu
Komentar di Milis BeCeKa:
From: Djuni Pristiyanto
Date: Jan 19, 2008 3:25 pm
Kawan SangWaktu,
Terima kasih atas komentarnya yg sedikit tapi menohok intinya.
Saat ini saya sedang belajar kembali mengenai Islam, setelah sekian lama saya absen dengan sengaja. Saya belajar lagi bagaimana melakukan sholat. Dan memang ada kemiripan antara melakukan sholat dan meditasi, yaitu mesti dilakukan dengan sikap pasrah total, menerima dan kesadaran penuh serta konsentrasi menyebar pada seluruh aktivitas. Saya “menemukan” Islam dari meditasi.
Memang, apa yg saya lakukan semua ini (khususnya: menuliskan hasil-hasil meditasi dan menaruhnya di blog) sebagai suatu bentuk “gerak pikiran yg ingin terus hidup”. Saya sadar itu. Oleh karena saya masih dalam taraf pemula dalam melakukan perjalanan yg sangat sukar ini, maka saya memerlukan nasehat dan bimbingan dari para “pejalan” yg lebih dulu daripada saya. Apakah yg saya alami tersebut hanya tipuan dari pikiran atau kah ada yg lain.
Trims.
salam,
djuni
From: ananta yudiarso
> 4. Ini pikiran kritis dan nakal. Jika mekanisme emosi memang inborn dan tentu ini pasti ada gunanya secara alami. Pertanyaannya adalah : mengapa harus “memanipulasi” emosi (baik negatif atau positif) ke arah netral.
————————-
HUDOYO:
Dalam MMD (Meditasi Mengenal Diri) sama sekali tidak ada usaha ‘memanipulasi’ emosi, melainkan ‘menyadari’ (mengelingi) setiap fenomena batin (pikiran, emosi, keinginan, harapan, kekecewaan, dsb) yang muncul dari saat ke saat, tanpa menilai, menghakimi, memilah-milah, dan memilih atau menolak. Tidak ada ‘self-regulation’, tidak ada ‘tujuan spiritual’, tidak ada ‘cita-cita keheningan’, dsb.
Bila ini dilakukan untuk beberapa lama, maka pada suatu titik, tanpa diinginkan, tanpa diusahakan, tanpa dicari, batin mau tidak mau akan masuk dalam keheningan, di mana semua pikiran & emosi akan mereda. Keheningan ini bukan hasil cita-cita, bukan hasil usaha, karena selama diusahakan, itu bukan keheningan yang sejati.
Di dalam keheningan itu tidak ada lagi si ‘aku’ yang menjadi sumber dari semua pikiran & emosi. Itu yang oleh orang Jawa disebut “mati di dalam hidup”.
Tapi ungkapan itu belum selesai. Karena di dalam “mati di dalam hidup” itu, bagi mereka yang sudah pernah mengalaminya, ternyata ada ‘SESUATU’ yang lain, ada gerak spontan yang bukan dari pikiran, bukan dari si ‘aku’, melainkan dari sesuatu yang mahaluas. Itulah yang disebut “hidup di dalam mati”, yang mengikuti “mati di dalam hidup”.
Memang benar, pikiran & emosi tampaknya bersifat ‘inborn’ pada makhluk yang bernama manusia ini. Itu ber-evolusi dalam batin manusia dengan tujuan untuk survival. Manusia tidak bisa survive tanpa pikiran, tidak seperti binatang.
Tetapi pikiran & emosi bukan sesuatu yang bersifat terakhir (ultimate) bagi manusia. Beberapa orang telah mengalami bahwa pikiran & emosi, yang bersumber pada si ‘aku’, bisa berakhir; di situ lalu ada kesadaran & kehidupan yang lain, yang lebih nyata daripada kesadaran & kehidupan sehari-hari manusia kebanyakan.
***
> Ini yang saya pahami dari Nietszche : Kebenaran adalah kesalahan yang manusia tidak bisa hidup tanpanya.
—————-
“Kebenaran” yang ada di dalam pikiran manusia, bukanlah kebenaran sejati, karena pikiran manusia secanggih apa pun tetap terbatas, tidak lengkap, mendua (dualistik), dan selalu TERKONDISI (conditioned).
Dalam MMD, pemeditasi tidak mencari “kebenaran” dalam bentuk apa pun, melainkan tetap menyadari pikiran apa pun yang muncul, yang tidak bisa mewakili/memahami kebenaran terakhir. Barulah kelak, apabila pikiran ini telah berhenti, maka orang akan tahu sendiri–tanpa pikiran–apa itu “kebenaran” sesungguhnya.
***
> Budaya yang muncul adalah “pasrah” takluk atas kehendakNya. Ini yang disebut Nietszce sebagai mentalitas budak (slave mentality”.
———————
Selama masih ada pikiran, masih ada si ‘aku’, tetap ada pilihan antara “pasrah” dan “berontak”.
Tapi, dalam keadaan pikiran berhenti, si ‘aku’ berhenti, siapa yang “pasrah” atau yang “berontak”? Dualitas itu tidak relevan lagi bagi orang yang sudah tidak punya ‘aku’ lagi.
***
> Istilahnya Nietszche adalah “mengakui dunia dan berkata ‘ya’ pada dunia”. Interpretasinya adalah berani mengalami emosi negatif dan positif sekaligus. Keduanya sama berharganya. Jadi bukan mencari keheningan tapi justru ” berani” menghadapi dunia, berani menghadapi kedua emosi.
——————–
Kalau orang sudah pernah mengalami berhentinya pikiran & berhentinya si ‘aku’, maka baginya pikiran & emosi apa pun yang muncul tidak relevan lagi, karena dengan kesadaran/eling semua itu akan segera lenyap kembali. Ini bukan berarti “berkata ‘tidak’ kepada dunia”, melainkan “memahami dunia seperti apa adanya”, “berada di dunia, tapi bukan dari dunia”.
Salam,
Hudoyo
Komentar di Milis BeCeKa:
From: —sangwaktu
Date: Sat Jan 19, 2008 6:37 pm
>Apakah yg saya alami tersebut hanya tipuan dari pikiran atau kah ada yg lain.
————————–
anda sudah menemukan kitab anda sendiri, yang merupakan jantung dari setiap agama.
silahkan diteruskan pak proses belajar dan mengajarnya.
kita semua disinipun sedang belajar dan mengajar :).
salam,
—sangwaktu
Komentar di Milis BeCeKa:
From: “Ngurah Agung”
Date: Sat Jan 19, 2008 8:47 pm
Saudara-saudaraku yang tekun …
Sejauh berurusan dengan si pikiran ini, kita seolah-olah hanya disediakan 2 pilihan –diperbudak ataukah memperbudak, diperalat ataukah memperalat, atau sejenisnya; dimana menyadari sepenuhnya kalau konstelasinya seperti itu tidak menempatkan lagi seorang penekun pada pergulatan lagi.
Kesadarannya inilah yang ‘mengangkatnya’ [transcends] melampaui tataran pikiran-perasaan –yang identik dengan tataran mental-psikologis– itu sendiri. Inilah –yang oleh JK atau kalangan Theosofis– disebut ‘naik’ ke tataran buddhi –intelijensia murni, yang terkadang oleh sementara kalangan disebut hati-nurani [conscience].
Kira-kira begitu … semoga bermanfaat adanya.
Shanti,
NR.
meditasi hanyalah wadah untuk membuktikan betapa agung sang pencipta dan yang melahirkan kita. pola pikir, variasi isi pikiran dan segala macam bentuk pencetusan bawah sadar kita adalah seninya hidup. Saya menyukai pikiran liar saya,sayamencintai segala macamreaksi yang timbul dalam otak saya bahkan semua reaksi anti pati ataupun destroyer saya menikmatinya. semuanya tergantung anda dan saya untuk mengelola dan mengasahnya.Semuanya akan sangat berguna untuk menciptakan karya seni di tempat anda dan saya berpijak. karya seni bisa diwujudkan dalam pikiran yang kreatif dan inovatif ….betapa indahnya alam pikiran kita yang baik yang buruk bahkan yang rusak sekalipun semuanya bisa disulap jadi berlian .mau tau gimana pikiran memble jadi kece?buat yang muda2 ini pr buat kalian.
Be your self;
lily